expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Sabtu, 17 Oktober 2015

PEMUDA DAN FENOMENA CABE CABEAN




PEMUDA DAN FENOMENA CABE CABEAN





PEMUDA


PEMUDA adalah tulang punggung bangsa. Pemuda adalah harapan bangsa. Pemuda adalah masa depan bangsa. Sedemikian pentingnya kedudukan dan peranan pemuda, sampai-sampai Bung Karno berucap,’’ Seribu orang tua hanya dapat bermimpi, satu orang pemuda dapat mengubah dunia.” (Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia).
Dalam banyak pidatonya, Bung Karno juga kerap berseru,’’ Beri aku seribu orang, dan dengan mereka aku akan menggerakkan Gunung Semeru. Beri aku sepuluh pemuda yang membara cintanya kepada Tanah Air, dan dengan mereka aku akan mengguncang dunia.’’
Kedudukan dan peran pemuda memang sangat vital dalam pembangunan sehingga masa depan bangsa berada di tangan mereka. Di pundak merekalah harapan dan cita-cita bangsa ini digantungkan sehingga pemuda dituntut berperan aktif dan tampil di garda terdepan pembangunan bangsa, baik fisik maupun mental spiritual atau karakter. Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya.
Sejarah membuktikan, pemudalah yang menjadi pendobrak dan penentu jalannya sejarah bangsa ini. Sebut saja Bung Karno yang pada 1927 mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI), saat usianya baru 26 tahun (lahir di Surabaya, 6 Juni 1901). Dalam usia 44 tahun, dia bersama Bung Hatta yang saat itu baru berusia 43 tahun (lahir di Bukittinggi, 12 Agustus 1902) memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Juga Bung Tomo yang mengobarkan perang melawan kedatangan kembali tentara Sekutu ke Indonesia pada 10 November 1945 di Surabaya. Saat itu Bung Tomo baru berusia 25 tahun (lahir di Surabaya, 3 Oktober 1920). Tanggal 10 November kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Lalu Dokter Soetomo dan Dokter Wahidin Soedirohoesodo yang pada 20 Mei 1908 mendirikan Boedi Oetomo, cikal-bakal organisasi pergerakan modern di Indonesia. Pada saat itu usia Soetomo baru 20 tahun (lahir di Nganjuk, 30 Juli 1888), dan Wahidin berusia 56 tahun (lahir di Sleman, 7 Januari 1852). Tanggal 20 Mei kemudian diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Pun para pemuda yang mengikrarkan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Mereka berikrar, ‘’Bertanah air satu, Tanah Air Indonesia; berbangsa satu, Bangsa Indonesia; dan berbahasa satu, Bahasa Indonesia.’’ Saat itu mereka rata-rata baru berusia 20-30 tahun. Sumpah Pemuda kemudian berujung pada Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.
Pilar Kelima
Gerakan reformasi yang menumbangkan rezim Orde Baru pada 1998 juga dipelopori oleh pemuda dan mahasiswa. Betapa dengan gagah berani mereka berhadapan dengan senjata, bahkan ada yang tertembak dan tewas. Merekalah yang menduduki Gedung DPR/MPR di Senayan, Jakarta, sehingga memaksa Presiden Soeharto lengser.
Maka tidak berlebihan kiranya bila dikatakan pemuda adalah pilar kelima dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, setelah Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika.
Bila pada 20 Mei 1908 para pemuda tampil sebagai aktor utama Kebangkitan Nasional, pada 28 Oktober 1928 sebagai aktor utama Sumpah Pemuda, dan pada 17 Agustus 1945 sebagai aktor utama Proklamasi Kemerdekaan, serta pada 1998 tampil sebagai aktor utama gerakan reformasi, maka kini saatnya pemuda tampil sebagai aktor utama dalam pembangunan bangsa, baik pembangunan fisik maupun mental spiritual atau karakter.
Bila karakter bangsa ini sudah terbentuk sedemikian kuat, dan keberadaan lima pilar itu sudah kokoh, niscaya bangsa kita mengalami kejayaan dan NKRI tetap lestari. Sejarah membuktikan, bila sebuah bangsa dihancurkan dengan kekuatan senjata, niscaya akan cepat bangkit. Lihat saja Jepang yang pada 6 dan 9 Agustus 1945 dibom atom tentara Sekutu di Hiroshima dan Nagasaki.
Meskipun wilayah dan rakyat Jepang mengalami kehancuran luar biasa, karena karakter serta para pemudanya tetap terjaga dan bersemangat maka dalam waktu relatif singkat bangsa Jepang dapat bangkit, bahkan kini menjadi salah satu raksasa ekonomi dunia. Tulang punggung kebangkitan bangsa Jepang itu adalah para pemuda.

Sebaliknya, bagi bangsa-bangsa yang mengalami kehancuran karakter, terutama karakter pemudanya maka akan hancur pula masa depan dan peradaban bangsa itu. Selama matahari masih terbit dari arah timur, selama bumi ini masih dihuni manusia, selama karakter bangsa Indonesia masih terjaga, dan selama pemuda masih tampil di garda terdepan dalam pembangunan bangsa, selama itu pula NKRI tetap jaya, abadi selama-lamanya. Insya Allah.


FENOMENA CABE-CABEAN
Dalam beberapa waktu terakhir, istilah ‘cabe-cabean’ dan ‘terong-terongan’ sedang ramai dibicarakan. Fenomena seperti apa itu hingga menjadi buah bibir masyarakat saat ini? ‘Cabe-cabean’ dan ‘terong-terongan’ merupakan sebutan-sebutan yang biasa digunakan oleh anak gaul zaman sekarang untuk menyebut atau memberikan sebutan pada remaja putri maupun remaja putra yang senangnya keluyuran malam dan nongkrong di tempat-tempat biasa mereka nongkrong seperti di pinggiran jalan, di bawah jembatan, dan di banyak tempat lainnya, yang beberapa tempat di antaranya merupakan tempat gelap sehingga meresahkan karena digunakan sebagai tempat nongkrong. Bagaimana tidak meresahkan? Terkadang mereka nongkrong di jalan-jalan gelap yang sangat sepi.

Cabe-cabean maupun terong-terongan diidentikkan dengan remaja dengan gaya pakaian tertentu dan tingkah laku remaja yang tidak pantas atau tidak baik, khususnya untuk anak-anak seusia mereka yang umumnya berkisaran SMA dan SMP bahkan SD. Seperti apa? Sedikit gambarannya seperti; ketika yang perempuan dengan usia mereka yang masih tergolong anak-anak menggunakan baju you can see dengan dipadu-padankan dengan celana pendek hot pants di tempat-tempat nongkrong dengan berpasang-pasangan dengan anak laki-laki seusia mereka, apalagi di waktu malam bahkan larut malam. Dan itu hanya satu dari sekian bentuk dari ciri-cirinya, sedangkan terong-terongan tertuju pada remaja laki-laki yang tergolong alay atau jamet dalam gaya berpakaian dan tingkah lakunya.

Jika kita telusuri lebih jauh asal muasal sebenarnya kata cabe-cabean itu memiliki arti yang lainnya bahkan kata tersebut merupakan singkatan, tapi berhubung singkatan dari cabe-cabean tidak sopan maka saya tidak akan menuliskannya secara detail. Asal usulnya cabe-cabean itu sendiri dari balapan liar yang juara atau menang dalam perlombaan balapan tersebut mendapatkan  cabe, cabe-cabean maksudnya, nah itu yang namanya cabe-cabean.

Jika arti/pengertian atau asal muasal kata cabe-cabean dan terong-terongan saja negatif, akan jauh lebih baik menurut saya pribadi kata cabe-cabean dan terong-terongan dicoret dari daftar suka kata yang tersimpan di kepala kita. Karena saya khawatir ada di antara kita yang keceplosan ngatain orang dengan sebutan tersebut yang akhirnya membuat rasa sakit hati pada orang lain.Bukankah dalam agama dilarang menyebut orang lain dengan sebutan-sebutan buruk. Saya juga gak yakin sih di antara kita akan sampai segitunya ngatain orang, tapi paling tidak mengantisipasi.

 “… janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman, dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Al Hujurat: 11)

Lagi pula kalau kita yang sudah tahu arti ataupun asal kata tersebut tidak baik, tidak enak juga kan didengarnya?
Nah, yang tak kalah pentingnya untuk dibahas tentang fenomena tersebut adalah faktor penyebab cabe-cabean dan terong-terongan merebak di kalangan anak muda atau ABG sekarang. Bahkan jika hal tersebut tetap dipopulerkan akan menimbulkan dampak negatif yang lebih banyak lagi, fenomena ini sudah berpotensi memberikan pengaruh buruk kepada remaja bahkan murid-murid sekolah dasar, belum lagi bila dihubungkan dengan maraknya sekarang ini tindak asusila ataupun kekerasan seksual pada anak maupun remaja yang menurut Komisi Perlindungan Anak atau KPAI bahwa kejahatan seksual terhadap anak-anak sudah pada taraf “Bencana Nasional”. Inilah yang harus menjadi kewajiban kita ke depan. Ingat loh, bukan hanya siaga 1 tapi AWAS!

Banyak faktor yang menyebabkan fenomena cabe-cabean dan terong-terongan muncul. Mulai dari faktor keluarga, dalam hal ini adalah orang tua yang musti menggodok kembali kurikulum dalam keluarga tersebut agar berlandaskan nilai agama sebagai pondasi awal kemudian menyusul nilai-nilai lainnya seperti nilai sosial, moral dan budi pekerti. Jangan sampai orang tua kalah dengan anaknya. Lho? Lah kan anak sekarang sudah semakin pintar, bukan berarti orang tuanya …..? Sebaliknya loh, hanya saja terkadang banyak orang tua yang cenderung tidak mengikuti perkembangan dunia remaja saat ini, padahal amat penting untuk diketahui orang tua karena hal ini dapat membantu orang tua dalam memberikan penjelasan yang lebih rinci dalam memberikan nasihat pada si anak sesuai fakta kekinian hingga memberikan penjelasan yang mampu diterima dan dimengerti dengan baik, tidaklah mudah menasihati anak pada saat ini karena mereka cenderung merasa mereka lebih tahu, lebih paham dan merasa benar karena mereka yang menjalani sedangkan orang tua dianggap tidak tahu apa-apa. Akan tetapi bukan pula orang tua  bersikap otoriter, mengawasi gerak-gerik anak setiap detiknya, memaksakan kehendak tidak boleh begini atau tidak boleh begitu, hal tersebut malah akan membuat anak merasa tertekan, merasa diawasi, merasa tidak dipercaya hingga merasa tidak nyaman. Anak-anak saat ini banyak yang menuntut emansipasi anak-anak? Apa tuh? Itu loh wujud dari pembelaan mereka dalam menentukan kebebasan dalam bergaul maupun mengemukakan pendapat dan keinginan mereka, jika orang tua tidak dapat mengkomunikasikan dengan baik pada si anak mereka akan mencari orang lain yang dapat lebih mengerti dan menerima apa yang diinginkan mereka.

Kemudian  selanjutnya faktor media, saat ini media televisi khususnya, banyak mempertontonkan atau bahkan mencontohkan perbuatan-perbuatan yang tidak baik seperti cara berpakaian atau pun cinta-cintaan yang masih belum pantas untuk dialami oleh anak-anak, bukankah kita juga sudah melihat bukti nyatanya bahwa pernah terjadi di mana sepasang ABG yang bertengkar sampai berbuntut hilangnya nyawa, walaupun mungkin ada faktor lain dari kejadian tersebut, tapi masa sih mereka tidak pernah atau bahkan tidak terpengaruh pada apa yang mereka tonton sebelumnya? Paling tidak saya yakin hal tersebut ikut andil. Kita harus cukup cerdas dalam menyaring acara-acara ataupun channel televisi di rumah, membagi jam yang aman untuk anak-anak khususnya menonton televisi merupakan salah satu langkah yang baik. Dalam pertelevisian Indonesia ada komisi penyiaran yang bertugas membatasi ataupun menyensor adegan-adegan yang tidak pantas dengan memberikan teguran bertahap atau menghentikan suatu program acara akan tetapi  rasanya tidak maksimal jika kita hanya mengandalkan itu saja, kita punya hak untuk menuntut atau menghentikan suatu acara atau program yang dianggap meresahkan secara langsung dengan memberikan teguran kepada pihak stasiun TV terkait ataupun dengan memanfaatkan jejaring sosial yang ada, mungkin akan sulit memang bila kita bergerak seorang diri, tapi dengan semakin berkembangnya media yang ada akan dapat membantu kita menggerakkan banyak orang dengan satu kepentingan yang sama.

Tentu bukan hanya media televisi saja yang harus di waspadai, media sosial sekarang ini bisa menjadi ancaman utama bila dalam penggunaannya tidak secara bijak. Orang tua wajib  memonitor aktivitas anaknya di jejaring sosial, jadi orang tua pun harus melek internet, rasanya tidak mungkin bila orang tua hanya mengawasi sepenuhnya kegiatan anaknya di depan komputer, hal tersebut tidak akan maksimal bila orang tua tidak ikut ambil bagian dalam aktivitas anaknya di dunia maya. Dan bagi  kita yang aktif dalam berbagai media seperti Twitter, Facebook dan lain sebagainya, harus memberikan contoh yang baik kepada followers maupun pertemanan di sosial media secara lebih bijak seperti dengan lebih banyak men-share- informasi-informasi bermanfaat, artikel mendidik ataupun status yang tidak mengandung unsur negatif, jangan segan-segan memblokir atau memberi pengaduan kepada Facebook terkait foto atau pun konten yang dianggap meresahkan.
Faktor berikutnya adalah faktor lingkungan, tempat di mana mereka bermain atau bergaul seperti tempat nongkrong dan lingkungan terdekat lainnya seperti sekolah dan teman-teman bergaulnya. Dari Abu Musa Asy-Asy’ari, Dia mengatakan bahwa, Rasulullah saw bersabda:

“Sesungguhnya, perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk, adalah seperti penjual minyak wangi dan tukang pandai besi. Seorang penjual minyak wangi akan memberi kamu minyak, atau kamu membelinya, atau kamu mendapati bau yang harum darinya. Sedangkan pandai besi, maka bisa jadi akan membakar bajumu dan bisa pula engkau mendapati darinya bau yang busuk”. (HR. Muttafaq ‘Alaih).

Seperti itulah pertemanan yang baik dan buruk. Berteman dengan orang baik, diumpamakan berteman dengan penjual minyak wangi jika minyaknya tidak melekat pada kita, baunya pun jadi. Sedangkan berteman dengan orang jahat, laksana berteman dengan tukang pandai besi, jika hitamnya besi (kotorannya) tak melekat, paling tidak asapnya yang bau itu mengenai kita. Walaupun kita tidak Ikut-ikutan berperilaku jahat, paling tidak kita kena pengaruh dari kejahatannya. Seperti itulah berteman dan bergaul, dalam lingkungan manapun kita berada harus menjaga diri. Bagaimana dengan anak-anak yang mungkin belum mendengar hadits tersebut atau belumlah paham?  Itulah tugas masing-masing dari kita yang harus saling mengingatkan, mengingatkan kepada yang lebih tua dengan hormat, mengingatkan dari yang lebih muda dengan kasih sayang dan mengingatkan dengan yang mungkin berbeda agama maupun suku dengan kita dengan penuh saling pengertian. Di sini saya pun ingin mengingatkan orang tua dan saya pun yang nantinya akan jadi orang tua untuk senantiasa mengingat pesan dari Rasulullah dalam memilih Pertemanan, bukan hanya pertemanan sesama orang tua, tapi orang tua yang juga harus tahu dengan siapa anaknya berteman. Rasulullah saw bersabda:

“Seseorang tergantung Agama temannya, maka hendaklah salah seorang di antara kalian melihat dengan siapa dia berteman”. (HR. Imam Abu Dawud).

Untuk orang tua  solusinya cuma satu jaga anak masing-masing! Bentengi keluarga dengan agama, peduli pada lingkungan, tidak apatis kepada sesama, jangan egois dengan hanya mengutamakan kepentingan sendiri tapi juga harus peduli dan berbagi solusi pada persoalan bangsa ini. Terima kasih, semoga bermanfaat!


Sumber:

https://id-id.facebook.com/permalink.php?story_fbid=490499010963389&id=161174980562462

http://www.dakwatuna.com/2014/05/24/50989/menghadapi-fenomena-cabe-cabean-dan-terong-terongan-orang-tua-harus-lebih-cerdas/#axzz3opc6iuP1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar